Oleh-Oleh, Memberi Lebih Baik Daripada Meminta
Kali ini saya tertarik membahas tentang oleh-oleh. Pembahasan akan bermula dari bagaimana asal mula benda maupun kegiatan oleh-oleh itu, apa hakekatnya, dan membahas apa tujuan dari oleh-oleh. Lalu dari pengalaman pribadi, saya akan mengategorikan si penerima dan si pemberi oleh-oleh dalam 3 tipe.
Bahwa hal yang wajar kita seringkali kita mendengar “Ini ada oleh-oleh replika Eiffel Tower untuk kamu, saya beli ketika jalan-jalan ke Perancis kemarin” atau “Untuk oleh-oleh, teman se-kantor saya belikan gantungan kunci sajalah”. Lalu, darimana asal mula oleh-oleh. Ternyata oleh-oleh yang dalam bahasa Inggris adalah souvenir merupakan berasal dari bahasa Perancis dengan tulisan yang sama yaitu souvenir, yang berarti “untuk diingat”. Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oleh-oleh adalah sesuatu yang dibawa dari bepergian.
Dari arti harfiahnya, oleh-oleh merupakan barang yang diberikan seseorang dari bepergian, bertujuan untuk dikenang. Yups, seharusnya sudah jelas bahwa oleh-oleh lebih bersifat pribadi dan psikologis daripada bersifat materialistik maupun konsumeristik. Oleh-oleh tidak perlu mahal, esensinya benda yang disebut oleh-oleh akan memberikan kenangan maupun pengalaman tertentu kepada si penerima. Semakin lama kenangan tersebut melekat, artinya semakin berhasil benda tersebut dikatakan oleh-oleh.
Lalu masih pantaskah oleh-oleh itu diminta? Jawabannya pantas, namun selama masih dalam lingkaran esensi hakekat dan tujuan dari oleh-oleh. Menurut saya pribadi, oleh-oleh yang diminta sejatinya bukan karena nilai materialistiknya namun nilai kenangan yang akan membuat si penerima akan selalu mengingat siapa, dimana, dari mana, bahkan jika si penerima hingga ingat detail waktu (kapan), saya rasa itu sejatinya yang disebut oleh-oleh. Jika oleh-oleh dipesan, maka perlu diperhatikan bahwa si (calon) penerima oleh-oleh seharusnya juga harus mempertimbangkan nilai moneter (harga), ukuran, berat, maupun sifat lainnya apakah barang yang dipesan ini merepotkan si pemberi atau tidak. Jika ternyata barang yang dipesan merepotkan si pemberi oleh-oleh, bahkan sudah masuk kategori mengganggu, barang tersebut kurang layak disebut oleh-oleh, alih-alih barang titipan. Bagi saya pribadi, saya sudah senang diberi barang-barang sehari-hari dari daerah asal sebagai oleh-oleh, misal koran dari Negara dengan pengguna huruf non-alphabet, note book, kartu pos, buku, atau cd musik lokal. Hal tersebut memberi saya tidak hanya kenang-kenangan namun juga pengalaman imajinatif terhadap tempat yang telah dikunjungi oleh si pemberi.
Gambar 1. Oleh - Oleh yang Pernah Ane Dapat
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana sebaiknya sikap penerima dan pemberi oleh-oleh?
Penerima oleh-oleh sebaiknya tidak meminta, itu etika terbaik menurut saya, karena pemberi akan menyediakan oleh-oleh dengan ikhlas tanpa ada rasa paksaan, untuk lebih mudahnya saya sebut pribadi tersebut sebagai si penerima oleh-oleh tipe 1. Jika harus memesan, sebaiknya kita memesan barang yang tidak merepotkan si pemberi. Kerepotan dalam hal uang, ruang, dan waktu. Karena oleh-oleh itu biasanya dibeli dengan uang, memerlukan ruang pada tas maupun bagasi, dan waktu untuk mencari, pertimbangkan minimal 3 hal tersebut, ini adalah si penerima oleh-oleh tipe 2. Kemudian penerima oleh-oleh yang naudzubillah menurut saya adalah tipe 3, tipe penerima oleh-oleh yang demanding (banyak maunya), ini sudah antara pantas tidak pantas disebut si penerima sih, lebih tepat si peminta. Tipe 3 ini meminta oleh-oleh barang secara spesifik tanpa peduli harga, ukuran dan berat, dan waktu pencarian, walaupun dia akan mengganti segala kerugian (materi/tangible) tapi ini perjalan saya, perjalanan di waktu yang saya sediakan, dimana waktu itu bersifat tidak dapat diganti (Breaking the Time, Satria Hadi Lubis) atau bahasa bulenya priceless.
Pemberi oleh-oleh juga harus memiliki sikap, menurut saya. lebih mudahnya saya kategorikan seperti di atas, pemberi tipe 1 dan seterusnya sesuai dengan tingkat kenaudzubillahannya. Pemberi tipe 1, pemberi yang tanpa harus dipesan sudah memberikan oleh-oleh sesuai dengan hakekat dan tujuannya, biasanya penerimanya orang dekat atau spesial, seperti keluarga, teman dekat, kekasih, atau malah bos/atasan. Kalau anda mendapat oleh-oleh tanpa memesan, selamat anda merupakan orang yang dianggap berarti dalam hidup si pemberi oleh-oleh, karena eksistensi anda bermanfaat bagi si pemberi. Kemudian pemberi tipe 2, dia memberi oleh-oleh ketika dipesan, walau hanya selewat saja memesannya, berarti si penerima telah menarik perhatian si pemberi untuk memberi oleh-oleh. Yang paling naudzubillah adalah pemberi oleh-oleh tipe 3, dia akan memberi oleh-oleh dengan pamrih. Memberi oleh-oleh dengan harapan penggantian uang atau mengharapkan oleh-oleh juga bahkan lebih berharga materialistik.
Jika saya simpulkan, oleh-oleh merupakan barang yang diberikan oleh seseorang (si pemberi) dari bepergian yang memiliki sifat untuk dikenang dengan harapan si penerima bahagia dan mengingat kenangannya. Barang yang paling cocok menjadi oleh-oleh adalah berukuran kecil (tidak membutuhkan space banyak), unik, dan tahan lama. Semoga kita dapat menjadi pribadi pemberi maupun penerima oleh-oleh yang manusiawi dan beradab. :p
Tentang penulis
Aldin Ardian, ST, MT
Selamat datang di blog saya!!
Saya Aldin Ardian, tenaga pengajar di Prodi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN "Veteran" Yogyakarta. Saya akan mencoba berbagi pengetahuan di dunia maya dengan blog ini sebagai wadahnya.
Blog ini tidak hanya membahas hal serius seputar dunia akademis saja, namun juga hal-hal yang saya alami dan semoga memberikan manfaat bagi pembaca bahkan penulis, dalam hal ini saya sendiri. Saya harap juga seiring waktu, tampilan blog ini akan semakin baik.
Salam Blogging,
Aldin Ardian
Kontak: aldinardian[at]upnyk.ac.id